Wednesday, July 1, 2009

Trauma

Trauma….

Pernah dengar kan kata-kata yang satu ini? Trauma berasal dari kata Yunani “tramatos” yang berarti luka dari sumber luar. Pada dasarnya trauma adalah luka emosi, rohani dan fisik yang disebabkan oleh keadaan yang mengancam diri kita. Trauma adalah luka batin yang tersimpan sehingga berpotensi menggerogoti seluruh diri kita.

By the way, aku pernah ngalamin yang mirip-mirip gitu deh sama trauma (ato emang trauma?!?) Ceritanya berawal waktu aku masih kecil. Dulu kalau aku nakal, orang tuaku biasanya akan langsung mengancam dengan 2 hal yang waktu itu paling kutakuti, yaitu dicemplungin ke dalam drum air di kamar mandi ato dikerokin, lho kok?! Aneh ya? Ga juga sih, sebagai seorang anak kecil aku paling takut dicemplungin ke dalam drum yang penuh dengan air, apalagi waktu kecil kan tinggiku ga sampai setinggi drum air di kamar mandi rumahku, udah pasti aku takut kelelep. Udah gitu kan dingin banget, trus yang kebayang waktu itu ada hewan-hewan aneh yang bakalan menggigit kakiku kalo aku dicemplungin ke dalam drum air itu.

Pengalamanku sewaktu kecil yang kalo nakal suka dicemplungin ke drum ternyata ga berakhir sampai disitu aja. Semua berawal dari hobiku yang suka ngintil kalo temen-temenku pada ke hutan. Waktu itu kami lagi mandi di kolam kecil tempat jatuhnya air terjun yang keciiil banget di Bukit Passi. Kebetulan aja berangkatnya cuma bertiga (aku, midah, kak hendro).

Waktu pertama aku menceburkan diri ke kolam itu aku ga tau kalo ternyata biarpun kecil tapi kolam itu dalam juga, ada 2 meteran lah. Tinggiku kan paling banter juga cuma 160 cm. Trus tiba-tiba kak hendro ikutan nyemplung, wah badanku tau-tau terdorong karena arus nyemplungnya dia, aku langsung kehilangan kendali dan tenggelam ke dasar kolam. Dua kali aku timbul tenggelam ke dasar kolam sampai akhirnya kak hendro rupanya menyadari kalau aku ga bisa berenang dan buru-buru menarik tubuhku dengan cepat ke tepi. Setelah sampai tepi aku akhirnya cuma berani duduk ditepi kolamnya saja sambil membersihkan diri. Lumayan juga tadi sempat menelan dua teguk air.

Setelah kejadian itu, aku jadi lumayan trauma juga sama yang namanya sungai dan sebangsanya. Tapi aku ga patah semangat, sesekali aku tetap berusaha melawan rasa takutku itu. Aku ga pernah berani merendam tubuhku ke dalam air yang dalamnya lebih dari pinggangku. Dengan kata lain aku cuma berani di bath tub. Tapi di tahun 2007 terjadi lagi sesuatu yang membangkitkan traumaku karena pernah tenggelam, dan bahkan membuat traumaku bertambah parah. Waktu itu aku diajak sama temen-temen kampus buat liburan di Pulau Temajo.

Setelah sampai di Pulau Temajo, kami segera menurunkan barang bawaan dan segera mencari kamar yang akan kami tempati. Kebetulan satu rumah yang disewa ada 5 kamarnya, 2 kamar yang besar dan 2 kamar yang kecil, lalu 1 kamar lagi yang pintunya langsung ke arah teras.

Usai semua urusan kami berjalan-jalan disepanjang pantai yang menuju ke arah batu-batu karang dan sebuah tempat diatas batu yang diberi pagar. Sebagian teman-teman yang lain ada yang menggunakan perahu kecil dan berlayar disepanjang bibir pantai. Kami foto-foto sambil melihat matahari terbenam.

Usai foto-foto kami berpisah, yang lain pulang dengan perahu sedangkan aku dan Hari berjalan menuju pantai karena aku membawa kamera, takut kameranya jatuh ke air soalnya nggak waterproof.

Waktu aku sampai di rumah sewaan, tiba-tiba semua mengejar dan memegangi aku lalu mengangkatku tinggi setelah mereka mengambil semua peralatan elektronik yang ada di saku celana dan yang terikat di pinggangku, dan tanpa belas kasihan mereka melemparkan aku ke dalam kolam renang kecil yang tingginya sampai kedaguku. Saat itu aku tak bisa berfikir apa-apa, aku takut, berteriak dan menjerit, tapi tak satupun yang perduli. Tubuhku dihempaskan dan langsung tenggelam dengan sukses. Air kolam yang kotor terltelan beberapa teguk, kacamataku terlepas tapi cepat kusambar sebelum jatuh ke dasar kolam. Tanganku terangkat dan sempat kulihat Anjas mengambil kacamataku yang dengan sukses langsung tergores-gores karena terbuat dari plastik. Aku sempat tenggelam sekali lagi sebelum akhirnya berhasil menguasai diri pelan-pelan dan menggapai pinggiran kolam, dan langsung mutah-muntah mengeluarkan air dari perutku. Aku masih berpegangan pada tepian kolam renang itu dan yang lainnya pun langsung menceburkan diri ke dalam kolam, dengan tidak punya rasa bersalah sedikit pun. Saat itu ada yang bertanya padaku tapi aku nggak begitu ingat, “Lely ga bisa berenang kah?”. Ya jelas lah kalau bisa yang nggak mungkin aku tenggelam seperti itu. Tapi demi mendengar jawabanku, ada seorang yang tak berperasaan menarik-narik kakiku dari dasar kolam. Aku langsung terbenam lagi tapi cepat menarik diriku keluar dari kolam renang sialan itu.

Aku langsung masuk ke rumah dari pintu belakang, masuk ke kamar mengambil peralatan dan mandi. Selesai mandi aku langsung ke mushola dan shalat magrib disana. Kutunggu sampai masuk waktu sholat isya, supaya aku ga usah bolak-balik dari rumah ke mushola. Datang Arie mau shalat juga, sepertinya dia tau aku marah sudah diperlakukan seperti itu sama semuanya.

Sejak hari itu rasa takutku sama kolam renang jadi sulit diungkapkan. Hal itu terbukti lagi waktu kami pergi ke Bukit Poteng bulan Maret yang lalu. Waktu itu kolam renang besar yang langsung terhubung dengan aliran sungai dan mata air di bukit menjadi penuh. Air melimpah ruah di kolam itu, berbeda dengan terakhir aku pergi kesana tahun lalu (Mei 2007). Air kolam cuma sedikit, lebih mirip genangan dan banyak lumpurnya, lengkap dengan batang kayu besar di tengah kolam.

Hari itu semua berniat mandi di kolam itu. Indra dan Tomi malah sudah menceburkan dirinya ke kolam, sedangkan aku cuma bisa melihat kolam itu dengan pandangan mata nanar dan jantung yang pelan-pelan berdetak lebih cepat dari ritme yang seharusnya. Aku cuma bisa diam. Membisu. Akhirnya aku ditarik Eko untuk turun ke pondokan tempat biasa kami nge camp. Kami shalat dzuhur disana dan Eko meninggalkan aku sendirian di tempat itu. Tak lama aku ganti baju untuk mandi, aku mandi di aliran sungai yang lebih kecil tempat biasa aku mandi kalau pas nginap di situ. Tingginya air kalau sedang deras arusnya seperti itu cuma sepinggangku saja. Kalau jongkok juga cuma sampai dada. Gitu deh pengalamanku, mungkin orang lain akan bilang aku pengecut. Tapi sungguh itu yang kurasakan, sulit bagiku untuk menghilangkan perasaan itu. Mungkin butuh waktu lama untuk menormalkan kembali perasaanku dan juga untuk membuatku berani sama segala sesuatu yang berbentuk kolam.

Kalo soal dikerokin, aku paling ga suka soalnya sakit dan geli setengah mati. Waktu aku masih umur kira-kira 5 tahun, pas lebaran aku dibelikan cincin emas sama emakku. Hari pertama lebaran, aku main sama temen-temenku. Tanpa sadar aku melepas cincinku dan kutimbuni dengan pasir, tapi kemudian tiba-tiba hujan gerimis turun, aku langsung berlari pulang dan melupakan cincinku yang kutimbuni dengan pasir itu.

Sesampai di rumah aku ditanyai sama emakku dimana cincin baruku. Aku bingung dan kujawab tidak tau, soalnya asli aku lupa banget udah kuapain itu cincin. Alhasil, emakku ngamuk hebat. Emakku lalu menyuruh kakak laki-lakiku untuk memegangi kaki dan tanganku, setelah itu emakku mengambil sebuah sendok kecil dan langsung mengerok punggungku dengan keras. Aku menangis menjerit-jerit dan meronta-ronta sambil memohon ampun. “Ampun mak, ampuuuun….” begitu jeritku. Tapi emakku tak mau mendengar, malah makin keras mengerok punggungku. Rasanya sakit sekali, panas. Padahal aku tidak sakit sama sekali tapi dikeroki seperti itu. Sampai sekarang seakan masih bisa merasakan sakitnya. Akhirnya emakku berhenti sendiri setelah capek dengan rontaanku. Aku ingat setelah itu aku hanya diam saja sambil meringkuk dengan hanya memakai celana dalam. Masih sambil menangis sesenggukan.

Ternyata tetangga sebelahku (seorang ibu guru mengaji, kami biasa memanggilnya bu haji) datang ke rumah beberapa hari kemudian dan bertanya mengapa aku menangis menjerit-jerit seperti itu. Aku ingat emakku berkata kalau aku dikerokin karena nakal sudah menghilangkan cincin yang baru dibeli. Tapi aku tak ingat apa yang dikatakan ibu tetangga sebelah itu pada emakku.

Beberapa hari kemudian, teman-temanku datang berduyun ke rumah sambil memanggil-manggil emakku. Ternyata mereka menemukan cincinku yang hilang di tumpukan pasir saat sedang bermain disitu. Ajaib juga, sudah beberapa hari hilang masih bisa ketemu.

Emakku berterima kasih pada teman-temanku dengan wajah heran hampir tak percaya sambil memandangi cincinku itu.

Dari pengalaman masa kecilku itu aku jadi paling nggak suka kalau dikerokin. Orang bilang kalau masuk angin dikerokin biar cepat sembuh, tapi aku milih minum obat paling pahit sedunia aja deh. Pernah sih aku coba beranikan diri untuk dikerok pas lagi sakit, tapi cuma bisa bertahan satu menit. Rasanya itu loh, kaya disiksa. Sakit en geli.

Gitu aja deh, emang malu-maluin banget pengalamanku. Tapi aku berusaha untuk berfikir positif dan selalu berusaha. Kadang-kadang sakit hati juga sih kalau diejek atau dihina sama orang yang nggak tau apa-apa soal traumaku. Tapi….yah namanya juga manusia, kalau karena nggak tau trus kita marah, ya bikin capek sendiri.

Tapi ada nggak ya caranya ngatasin traumaku itu? Dan kalau perlu dihilangkan aja traumanya sekalian.


First release: 18 Mei 2008 in http://bluestarlely.blog.friendster.com/2008/05/gimana-ya-cara-ngilangin-trauma/

No comments:

Post a Comment

hai, hai...kasih komentar dong disini...

Konnichiwa

Yuk, belajar nulis, nulis apa aja yg penting asyik en nyenengin buat dibaca, klo bisa yg informatif juga, nah loh, klo ada tulisan di blog saya ini boleh di copy kok, tapi atas seijin saya yah.....