Monday, September 21, 2009

Lebaran, Sebuah Simbol Pesta Pora atau Ungkapan Rasa Syukur Setelah Ramadhan?

Lebaran merupakan suatu tradisi yang ada di Indonesia, Nabi Muhammad sendiri tidak merayakan lebaran seperti kita, yang ada Nabi menjalankan shalat Ied seperti layaknya shalat sunah lainnya, dan kembali ke rumah seperti biasa, sedangkan tradisi berpesta dan bermaaf-maafan hanya dibuat oleh orang Indonesia saja. Bahkan kalau ada yang bertengkar mereka akan bilang "Ntar aja ah maafannya kalau sudah lebaran". Wah, padahal Islam tidak mengajarkan seperti itu, meminta maaf justru harus dilakukan saat itu juga dan bukan menundanya saat ada moment-moment tertentu seperti lebaran misalnya.
Sebagian besar agama penduduk Indonesia adalah islam, namun terasa sekali jika pemahaman yang dimiliki masyarakat muslim Indonesia masih sedikit sekali. Kebanyakan berpatokan pada keputusan dan ungkapan kyai atau ustadz yang sebagai manusia tentu saja bisa salah tetapi pemahaman tersebut sudah dianggap sebagai sesuatu yang betul dan malas untuk membetulkannya. Contohnya saja saat lebaran ada ucapan Minal 'Aidin Wal Faizin. Ucapan ini biasanya diartikan sebagai Mohon Maaf Lahir Batin karena kalimat ini mengikuti ucapan setelah Minal 'Aidin Wal Faizin, belum lagi penulisan ejaan yang salah. Tetapi saya tidak akan membahas tentang penulisan dan pemahaman yang salah tentang ucapan lebaran, saya yakin di blog-blog lain sudah banyak ditulis tentang hal ini dengan pembahasan yang lebih rinci dan jelas.
Saya hanya tertarik menatap lebaran sebagai simbol dari berakhirnya bulan ramadhan.
Kita bisa melihat ke sekeliling kita, termasuk juga di rumah emak saya. Setiap lebaran menjelang setiap rumah menjadi sibuk, sibuk ke pasar untuk membeli ketupat dan bahan makanan lainnya, sibuk ke toko dan mall untuk membeli pakaian baru atau mukena dan sarung baru, sibuk membuat kue dan penganan untuk disajikan di meja sebanyak-banyaknya, sibuk mempercantik rumah dengan cat mengkilat, furniture baru dan gorden baru, sibuk menanti THR dari kantor, atasan, rekanan atau parsel dari relasi. Kita bisa melihat kalau seminggu menjelang lebaran kita justru lebih banyak melihat manusia berada di pasar dan mall ketimbang di masjid. Membayar zakat pun dilakukan di malam terakhir dan bahkan hampir terlupa. Apakah hal ini yang sesungguhnya diharapkan oleh Allah SWT?
Seorang teman yang bekerja pada perusahaan pemberi kredit yang cukup terkenal di Pontianak pernah sedikit curhat kepada saya.

Teman: "Mba, klo lagi lebaran gini di kantor sibuk, orang-orang banyak yang masukin aplikasi"
Saya: "O ya? Orang Pontianak kaya-kaya dong," ungkap saya sambil lalu.
Teman: "Nggak juga sih, klo sebulan sesudah lebaran bagian penagihan dan sita justru lebih sibuk"
Saya: "Wah, banyak yang ga sanggup bayar ya?" tanya saya mulai antusias.
Teman: "Iya, biasalah orang sini, klo lebaran kredit sofa baru, cuma untuk dipajang pas lebaran, gitu lebaran selesai ga sanggup bayar, ya terpaksa di tarik lg barangnya."
Saya: "Oh, gitu ya, pantesan kalau lebaran disini hampir semua kaya orang kaya, sofa baru ternyata ngutang, yang penting pas lebaran penampilan mentereng, gitu toh..."

Begitulah kira-kira percakapan saya dengan teman saya kala itu. Dari sini kita jadi bisa melihat, kalau sebagian besar orang justru memaksakan diri demi mendapatkan view lebaran yang sesuai dengan keinginannya.
Memang tidak bisa dipungkiri, bahwa moment lebaran bisa menciptakan keajaiban bagi sebagian orang yang kurang mampu, entah dari mana ia mendapatkannya, tetapi saat lebaran anehnya ia sanggup memenuhi standar yang ada, hal ini saya sebut standar karena paling tidak disetiap rumah ada yang namanya ketupat, opor ayam atau rendang, yang jika harus dipenuhi sehari-hari bisa mencekik leher mereka.
Secara garis besar saya akan menjadikan Pontianak sebagai satu contoh pelaksanaan tradisi lebaran yang lumayan wah jika dibandingan dengan kota tempat tinggal saya sebelumnya yaitu Balikpapan.
Sejak saya menginjakkan kaki di Pontianak kira-kira 9 tahun yang lalu, saya langsung dibuat tercengang dengan tradisi lebaran disana, lebaran di Pontianak dilakukan 1 bulan penuh selama bulan Syawal. Dan yang membuat saya tercengang adalah saat memasuki rumah-rumah mereka (dalam hal ini kebetulan saya mendatangi rumah yang perekonomiannya menengah keatas).
Setiap rumah dicat ulang dengan hiasan yang megah dan mewah, pintu dan jendela dihiasi gorden yang berlapis-lapis dan terkesan mewah, hiasan guci-guci memenuhi ruang tamu, dan disetiap ruang tamu disediakan meja khusus untuk makanan. Di meja itu tersedia kue-kue kering, minuman kaleng, air mineral ataupun sirup dengan beraneka rasa dan warna, dan satu favorit yang menjadi kebanggaan di Pontianak, kue lapis. Setiap rumah selalu menawarkan kue lapis dengan beraneka ragam cita rasa dan bentuk. Semakin rumit motif kue lapisnya semakin bangga yang punya rumah. Bahkan jika hari pertama dan kedua, tamu-tamu akan disuguhi dengan makanan-makanan khas lebaran, ada juga yang pernah menyajikan bubur padas, makanan khas dari Sambas.
Cukup berbeda dengan kota asal saya, lebaran hanya dirayakan selama 2 hari, paling lama 1 minggu, dan makanan juga tidak sebanyak dan semelimpah di Pontianak. Hiasan rumah pun tidak semewah dan sesemarak di Pontianak, kalaupun ada hanya sebagian kecil saja, biasanya kalangan orang kaya saja. Hal yang sama yaitu adanya kebiasaan memberi anak-anak kecil uang kecil (saat ini rata-rata memberi Rp 2.000,- seorang, cat. thn 2009). Di Pontianak mereka menyebutnya dengan menanggok (kaya nangkap ikan saja, ^_^).
Ah, sebetulnya saya ingin menjalani lebaran dengan biasa-biasa saja, sederhana, bersahaja dan tak perlu bermewah-mewah, tapi lingkungan sekitar saya sulit sekali memahami apa yang ada dalam fikiran saya. Saya ingin menikmati lebaran sebagai sebuah kemenangan setelah selama sebulan bisa tahan berpuasa, tahan hawa nafsu, dan sebagainya. Seorang teman malah merasa sedih setelah ramadhan berakhir, sebab ia jadi tidak bisa lagi menjalankan ibadah yg hanya bisa dilakukan saat ramadhan, yaitu tarawih.
Dari hal-hal itulah saya kadang-kadang merasa takut dengan apa yang sudah saya lakukan, apakah jika kita terlalu bersemangat dan berlebihan dalam menyambut lebaran tidak menjadi bid'ah atau malah dosa?
Orang yang sebenarnya tidak mampu untuk membeli sofa, karena lebaran jadi membeli sofa dengan kredit, dan pada akhirnya tidak sanggup membayar.
Orang yang sebenarnya bisa beramal lebih banyak tetapi demi memperindah diri dan rumah secara berlebihan malah melupakan saudara dan tetangganya yang kekurangan.
Akhir bulan ramadhan dimana kita makin harus meningkatkan ibadah justru dihabiskan dengan mencari sesuatu yang sifatnya duniawi, sang ibu sibuk berlumur tepung membuat kue sampai shalat pun terlewat, si bapak kerja mati-matian demi membelikan baju untuk anaknya, mengaji pun tak sempat, dan sang anak pun sibuk berlari-lari kesana kemari membunyikan petasan, lupa pada tarawihnya.
Kita bisa lihat di masjid-masjid beberapa hari menjelang lebaran, saf hanya 2-4 baris saja, bandingkan dengan hari pertama tarawih, saf tidak terhitung, makmum shalat sampai di teras-teras masjid.
Jika hal ini terjadi, apakah itu yang namanya wajah dari lebaran? Sedikit banyak hal ini tentu pernah terjadi pada kita.
Kita terlalu disibukkan dengan persiapan-persiapan lebaran, sehingga kita lupa pada makna yang hakiki dari Idul Fitri sendiri.
Untuk saya sekarang ini, lebaran yang penting rumah bersih, ada cukup kue untuk disajikan dan ada keikhlasan saat menyambut tamu yang datang. Tujuan lebaran bagi saya tak lebih adalah silaturahim sebab hanya pada lebaran lah setiap orang sengaja menyempatkan diri untuk saling berkunjung. Setidaknya inilah sisi positif yang sangat baik dari lebaran.
Lebaran bagi saya telah berubah selama beberapa tahun terakhir ini, berbeda dengan saya diwaktu kecil. Setidaknya hal ini bisa menjadi pembelajaran, meski hanya untuk saya seorang.





Konnichiwa

Yuk, belajar nulis, nulis apa aja yg penting asyik en nyenengin buat dibaca, klo bisa yg informatif juga, nah loh, klo ada tulisan di blog saya ini boleh di copy kok, tapi atas seijin saya yah.....