Thursday, August 28, 2008

Hujan

Hujan lagi. Pontianak sedang diguyur hujan yang lumayan lebat, meski tak lama tapi cukup membuatku enggan untuk nekat menerobos hujan dan pulang ke kosku yang hangat.
Aku suka hujan, karena aromanya, karena warnanya, karena suasananya, dan karena aku jadi merasa nyaman. Aneh ya jika ada orang yang merasa nyaman dengan hujan. Hujan bisa disertai dengan petir, guruh, dan bahkan angin topan, tapi aku tetap suka hujan. Buatku hujan bisa meluruhkan hati yang sedang sedih, aku jadi lupa pada kekesalanku, pada kekecewaanku, pada kemarahanku, tapi hujan juga membuat aku merasa rindu. Rindu pada orang-orang yang kusayangi yang jauh dariku, rindu pada tempat-tempat yang pernah kukunjungi, rindu pada masa-masa yang pernah kulalui, rindu pada sesuatu yang pernah kusukai. Hujan membuatku berfikir dan merenung tentang banyak hal, tentang keindahan, tentang kebahagiaan.
Aku biasanya akan menatap air yang jatuh ke bumi melalui jendela kamarku, tersenyum dan diam-diam menyenandungkan nyanyian alam diantara suara air, katak, dan juga guruh.
Aku akan memotret petir dan kilat dengan menggunakan kamera dari kornea mataku dan mencetaknya dalam hatiku dengan ukuran paling besar, agar aku bisa mengingatnya, meski sedikit, tapi berarti.
Kala hujan aku ingin bergelung sendiri dalam selimutku, memeluk diriku sendiri dalam kehangatan pikiranku, menelusuri kembali mimpi-mimpi yang pernah kualami, mengingat kembali bahwa aku pernah begitu menikmati sesuatu yang mungkin hanyalah kefanaan.
Aku akan merindukan aroma kamarku yang hangat, kelembutan seprei yang baru diganti, dan dinding-dinding kamarku yang seolah berpendar lebih gelap dari biasanya. Meski hujan kala siang, aku bagai melihat rembulan tersenyum pucat.
Oh, rindunya. Dan aku pun tersenyum.
Boneka-bonekaku seolah mendekat dan mengeluarkan hawa hangat yang menentramkan. Abu-abu, samar, seperti air yang jatuh satu-satu dari puncak dunia.

Monday, August 4, 2008

Cuap-cuap iseng ga ada ide....


Libur akhir pekan kemarin, Sabtu en Minggu, aku nggak sempet sama sekali buka laptop apalagi nyentuh internet. Sabtu kemarin hampir seharian aku di Mega Mall, belanja semua keperluan. Wuih ternyata banyak juga yang kubeli, ga kerasa kalo isi lemariku udah mesti pada diganti. Akhirnya aku beli 1 celana jeans Lee Cooper, Jaket Converse warna biru langit, bra hehehe..., plus 3 novel yang baru kelar kubaca 1. Sebetulnya pengen belanja yang lain lagi tapi ga ada yang menarik minatku, eh gitu inget2 ternyata aku lupa beli kaus kaki, hehehe terpaksa deh balik lagi ntar ato beli di tempat lain aja. Btw, aku ini paling jarang belanja2 kaya cewe pada umumnya tapi sekali belanja ngabisin duit buanyak, bisa hitungan jutaan malah. Tapi ya itu kelar belanja isi dompet jadi tipis en dijamin tagihan Credit Card bulan depan membengkak. Padahal aku masih ada 2 stel baju kerja di tukang jahit en 2 stel pesenan baju kerja yang blon dateng di toko baju dekat kantor. Alamak, itung2 mungkin udah lebih setengah juta tuh, padahal aku blon beli mukena buat bulan puasa en lebaran ini. Bukannya keseret arus belanja baju baru karena moment mo lebaran lho, tapi emang kondisi mukena ku udah cukup memprihatinkan, warnanya udah ga putih lagi, karet pengikatnya udah longgar banget smp bisa melorot klo dipake, en bahannya udah mulai tipis, bakalan robek klo ditarik dikit. Hihihi... itu lah saya, klo barang blon ancur ga beli yang baru. Ada yang bilang aku pelit, padahal sebenernya emang pelit abis, wakakaka.... ga ding, kita belanja kan sesuai kebutuhan, ga sekedar lapar mata doang trus belanja tanpa peduli isi kantong, kecuali klo kita anaknya pejabat A yang duitnya milyaran, ato anaknya pengusaha B yang perusahaannya ga keitung.
Anyway, nyenengin hati sih boleh2 aja asal kita tau kondisi kita, yang penting kita udah bisa prediksi klo akhir bulan ntar ga bakal kelaparan ^-^.
Dan ada satu berita buruk, bulan depan duit kos mau dinaikin sm bapak kos.... wuaaaa.... jadi pingin pindah, cari kontrakan biar lebih leluasa, secara barang2 ku di kos juga udah bejibun.
Seandainya ada kontrakan yang deket2 pusat kota trus murahan dikit, hihi... ga mungkin banget kali ya...

Friday, August 1, 2008

Memory Ledo-Sadness


Sore itu aku terdiam saat membuka-buka kembali album foto beberapa tahun lalu. 2002 aku pergi ke Sanggau Ledo bersama dengan teman-teman, dan tiba-tiba aku teringat pada satu memori yang membuka kembali pembuluh-pembuluh otakku. Ada sesuatu yang kurasakan kembali mengaduk-aduk nuraniku yang kerap kali tertidur. Waktu itu....

Perjalanan yang cukup melelahkan, cukup menguras energi fisik dan mentalku. Seperti kali ini di terminal Batu Layang. Perjalanan kali ini menuju Sanggau Ledo, kepinginnya sih ke air terjun Riam Merasap. Tetapi rupanya persiapan kami tidak terlalu baik, tak seorang pun berusaha untuk mencari informasi seputar transportasi menuju kesana.

Pagi-pagi sekali kami sudah bersiap untuk berangkat ke terminal, dan begitu sampai disana diperoleh informasi kalau bis yang menuju Sanggau Ledo hanya ada sekali dalam sehari, yaitu keberangkatan pukul 10.30 siang. Kami sudah ada di terminal sejak pukul 8.15 pagi, berarti masih ada waktu kurang lebih 2 jam, kami menghabiskan waktu dengan duduk di warung kopi di terminal itu, memesan secangkir kopi atau teh dan mengobrol tak jelas kesana kemari.

Dua temanku pun memilih pergi dengan alasan masing-masing. Sedangkan aku hanya duduk, sambil sesekali menyeruput segelas teh panas di depanku. Aku membisu. Dan tatapanku tak sengaja jatuh pada seorang anak perempuan kecil dan ayahnya yang duduk di emperan sebuah warung kecil. Si anak perempuan mengenakan baju terusan berwarna pink yang sudah agak lusuh, di tangan kananya dia menggenggam rambutan yang sudah di kupas sedangkan tangan kirinya memegang sebuah bungkusan plastik kecil yang sepertinya berisi beberapa buah permen murahan dan makanan ringan yang tak begitu jelas merknya. Mulut si anak perempuan belepotan, sepertinya karena cairan dari buah rambutan yang dimakannya. Dan dengan telaten sang ayah mengupaskan buah rambutan untuk anak perempuan itu sambil sesekali mengucapkan kalimat-kalimat yang tak bisa kudengar dengan jelas dari tempatku duduk.

Perhatianku kini teralih pada si ayah. Postur tubuhnya kecil dan kurus tapi terlihat bahwa otot-otot tubuhnya menonjol, tanda tubuh kecilnya telah terbiasa atau dipaksa untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan berat. Laki-laki tersebut berusia kira-kira empat puluh tahunan, kulitnya hitam terbakar matahari, jari-jari tangannya terlihat penuh goresan dan kapalan, namun anehnya aku justru melihat pancaran kasih dari sepasang tangan tersebut. Tangan kasar yang memancarkan kelembutan. Ironis.

Aku alihkan pandanganku dari mereka, ada sesuatu yang merasuk ke dalam hatiku, terasa pedih dan menyayat, ada rasa malu dan penyesalan, ada juga haru, meski terselip dalam keegoisan. Melihat pemandangan semacam itu membuatku teringat pada diriku sendiri. Ingatanku melayang jauh ke masa-masa yang lalu, waktu yang kulewati lebih dari dua puluh tahun lalu. Masa ketika aku masih tidak begitu paham apa itu benar atau salah, masa ketika aku hanya tau apa itu senang dan tak begitu perduli pada kesusahan, masa ketika aku merasa memiliki keluarga paling bahagia di dunia, masa ketika aku tak sekotor seperti sekarang, masa ketika aku seusia dengan si anak perempuan berpakaian pink. Membuatku teringat pada aku dan bapakku...

Bapakku, dulu biasa kupanggil Apa. Apa bagiku adalah sebutan atau panggilan, bukan sebuah pertanyaan. Tapi panggilan, seperti juga aku memanggi ibuku dengan sebutan Ama. Untuk itu orang tuaku pernah bercerita, ketika aku kecil dan baru bisa mengucapkan kata-kata papapa atau mamama mereka menjadi cemas kalau aku kelak akan seperti orang lain yang akan memanggil orang tuanya dengna sebutan papa dan mama lalu mereka pun memutuskan agar aku memanggil mereka dengan sebutan Apa dan Ama.

Apaku, sosok seorang laki-laki yang tak berhasil dalam hidupnya. Menikahi seorang janda beranak tujuh dengan pekerjaan yang tak layak, kadang bekerja dan kadang tidak, meski sering tidaknya. Apaku dulunya sempat menjadi pemain band di kampung, aku pernah melihat fotonya waktu sedang main gitar. Sampai sekarangpun kadang-kadang aku masih melihatnya memainkan gitar (pinjaman), menyanyikan lagu-lagu jaman dulu yang tak begitu kukenal. Oh ya, Apaku itu penggemar Beatles, Queen, Bee Gees, Deep Purple dan band-band jaman dulu, terlihat dari koleksi kaset-kasetnya dan semuanya rata-rata beraliran rock yang sampai menjerit-jerit (khas tahun 80an). Tapi uniknya Apa sering sekali mengutuki lagu dangdut setiap kali muncul di TV, tetapi kata Ama waktu muda dulu Apa juga mengiringi orang lain saat bernyanyi dangdut.

Apaku punya pemikiran yang lumayan kebarat-baratan, sering kali aku merasa Apaku ini duplikat Si Nox dalam hal ini. Apaku selalu berfikir kalau yang dari barat itu sudah pasti bagus karena didukung dengan modernitas. Apaku tipe anak kampung yang taunya hanya bersenang-senang, sampai sekarang pun aku tak tau Apaku lulusan SMP atau SMA, karena katanya ijazahnya dibakar, Apa tak pernah jujur dengan hal ini. Kakak-kakakku sering bercerita, ketika muda dulu Apaku sering sekali membuat heboh kampung dengan berkelahi dan bertengkar dengan saudara laki-lakinya sendiri, kejar-kejaran sepanjang kampung sambil mengacung-acungkan parang, membuat stres kedua mbahku. Hari-harinya diisi dengan sesuatu yang menurutku tidak berguna.

Apa adalah seseorang yang sebetulnya pandai berbicara, ia bisa membawa dirinya dalam sebuah pergaulan, dan gampang bergaul, kebalikan dari diriku yang lebih mirip dengan Ama yang tertutup. Tetapi, terkadang Apa tak bisa mengendalikan dirinya dalam berkata-kata. Ada saja kalimat-kalimatnya yang diselipi dengan sesuatu yang tak masuk akal, ya Apaku kadang-kadang suka membual. Mungkin untuk menutupi kelemahannya, atau untuk mengurangi rasa kecewa dalam hatinya.

Yang kutahu, Apaku seorang yang jika ingin mengerjakansesuatu selalu ditunda-tundanya sampai sering sekali membuat Ama menjadi kesal dan memilih mengerjakan semuanya sendiri. Tapi jika Apa sudah mengerjakannya, maka hasil yang diperoleh biasanya lumayan memuaskan. Aku masih ingat ketika aku masih duduk di sekolah dasar, Apa membuatkan hiasan dari triplek berbentuk kuda yang sedang mengangkat kedua kaki depannya. Aku masih ingat sekali, gambarnya digunting dari kalender yang sudah lewat waktunya, dan tripleknya meminta dari tetangga yang kebetulan sedang merenovasi rumahnya. Apa menggergaji triplek tersebut sesuai dengan gambar yang digunting dan membuatkan kaki penahan untuk hiasan dua dimensi tersebut. Dan aku diam ketika pak guru menyindirku terang-terangan kalau hiasan itu pasti buatan bapakku. Aku tak perduli.

Kontras sekali dengan mbahku yang tiap hari selalu ke Masjid dan mengaji sampai malam disana. Apaku bukanlah tipe seorang yang salihah, kendatipun begitu Apaku lumayan hafal beberapa bagian dari isi Al Qur’an dan sering kali membacakan doa selamat dan doa-doa panjang lainnya.

Apaku pernah bercerita kalau dulu ia pernah menganut sejenis ilmu yang berkaitan dengan ular. Ilmu itu diturunkan melalui mimpi oleh kakak atau adik dari mbahku (aku sudah lupa). Dulu Apaku bisa mengobati orang-orang yang digigit ular berbisa, atau mengusir ular yang kebetulan berdiam di rumah atau tempat-tempat yang biasa dilalui orang. Tapi ilmu tak bertahan lama di tubuh Apaku, menurut leluhur yang menurunkan ilmu itu, Apaku tidak kuat menahan ilmu yang terlalu kuat itu, dan akhirnya ilmu itu dicabut kembali. Soal benar atau tidaknya, aku tidak pernah tau.

Sekarang Apaku sudah tua, sejak kutinggalkan rumah lebih delapan tahun yang lalu, ia tak lagi seperti dulu. Wajah hitamnya telah makin keriput, uban dikepalanya pun bertambah, dan bahkan gigi depannya pun telah banyak yang tanggal. Apaku makin terlihat bungkuk, seolah mulai berat menopang tubuhnya yang kurus. Ia terlihat lebih tua dari usianya sendiri. Dulu ia begitu egois dan pongah dengan kata-katanya, tak pernah ingin ia dibantah, tapi sekarang sifatnya itu tak lagi begitu terasa. Ia lebih bisa menerima dari sebelumnya.

Tiap setahun sekali kala lebaran aku pulang, Apaku akan menatapku dengan wajah yang penuh haru dengan mata yang memerah, basah oleh air mata. Dan aku hanya bisa menatapnya kikuk, tak tau harus bersikap bagaimana. Ada sesuatu di relung hatiku yang bergetar tapi tak ingin kuperlihatkan. Ada kepedihan yang menyesak dalam dada, meski kadang kesal datang dan meracuni hati ini bertubi-tubi. Ada secuil kerinduan yang kadang mengoyak nuraniku, tapi kadang kupendam jauh. Aku tak ingin orang lain tau apa yang kurasakan, aku ingin nikmati sendiri kepedihanku.


Diambil dari Buku Kumpulan Puisi dan Lembaran Hidupku, by Lely~Reallyani~
Copyright ©Lely-Reallyani.

Konnichiwa

Yuk, belajar nulis, nulis apa aja yg penting asyik en nyenengin buat dibaca, klo bisa yg informatif juga, nah loh, klo ada tulisan di blog saya ini boleh di copy kok, tapi atas seijin saya yah.....