Friday, August 1, 2008

Memory Ledo-Sadness


Sore itu aku terdiam saat membuka-buka kembali album foto beberapa tahun lalu. 2002 aku pergi ke Sanggau Ledo bersama dengan teman-teman, dan tiba-tiba aku teringat pada satu memori yang membuka kembali pembuluh-pembuluh otakku. Ada sesuatu yang kurasakan kembali mengaduk-aduk nuraniku yang kerap kali tertidur. Waktu itu....

Perjalanan yang cukup melelahkan, cukup menguras energi fisik dan mentalku. Seperti kali ini di terminal Batu Layang. Perjalanan kali ini menuju Sanggau Ledo, kepinginnya sih ke air terjun Riam Merasap. Tetapi rupanya persiapan kami tidak terlalu baik, tak seorang pun berusaha untuk mencari informasi seputar transportasi menuju kesana.

Pagi-pagi sekali kami sudah bersiap untuk berangkat ke terminal, dan begitu sampai disana diperoleh informasi kalau bis yang menuju Sanggau Ledo hanya ada sekali dalam sehari, yaitu keberangkatan pukul 10.30 siang. Kami sudah ada di terminal sejak pukul 8.15 pagi, berarti masih ada waktu kurang lebih 2 jam, kami menghabiskan waktu dengan duduk di warung kopi di terminal itu, memesan secangkir kopi atau teh dan mengobrol tak jelas kesana kemari.

Dua temanku pun memilih pergi dengan alasan masing-masing. Sedangkan aku hanya duduk, sambil sesekali menyeruput segelas teh panas di depanku. Aku membisu. Dan tatapanku tak sengaja jatuh pada seorang anak perempuan kecil dan ayahnya yang duduk di emperan sebuah warung kecil. Si anak perempuan mengenakan baju terusan berwarna pink yang sudah agak lusuh, di tangan kananya dia menggenggam rambutan yang sudah di kupas sedangkan tangan kirinya memegang sebuah bungkusan plastik kecil yang sepertinya berisi beberapa buah permen murahan dan makanan ringan yang tak begitu jelas merknya. Mulut si anak perempuan belepotan, sepertinya karena cairan dari buah rambutan yang dimakannya. Dan dengan telaten sang ayah mengupaskan buah rambutan untuk anak perempuan itu sambil sesekali mengucapkan kalimat-kalimat yang tak bisa kudengar dengan jelas dari tempatku duduk.

Perhatianku kini teralih pada si ayah. Postur tubuhnya kecil dan kurus tapi terlihat bahwa otot-otot tubuhnya menonjol, tanda tubuh kecilnya telah terbiasa atau dipaksa untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan berat. Laki-laki tersebut berusia kira-kira empat puluh tahunan, kulitnya hitam terbakar matahari, jari-jari tangannya terlihat penuh goresan dan kapalan, namun anehnya aku justru melihat pancaran kasih dari sepasang tangan tersebut. Tangan kasar yang memancarkan kelembutan. Ironis.

Aku alihkan pandanganku dari mereka, ada sesuatu yang merasuk ke dalam hatiku, terasa pedih dan menyayat, ada rasa malu dan penyesalan, ada juga haru, meski terselip dalam keegoisan. Melihat pemandangan semacam itu membuatku teringat pada diriku sendiri. Ingatanku melayang jauh ke masa-masa yang lalu, waktu yang kulewati lebih dari dua puluh tahun lalu. Masa ketika aku masih tidak begitu paham apa itu benar atau salah, masa ketika aku hanya tau apa itu senang dan tak begitu perduli pada kesusahan, masa ketika aku merasa memiliki keluarga paling bahagia di dunia, masa ketika aku tak sekotor seperti sekarang, masa ketika aku seusia dengan si anak perempuan berpakaian pink. Membuatku teringat pada aku dan bapakku...

Bapakku, dulu biasa kupanggil Apa. Apa bagiku adalah sebutan atau panggilan, bukan sebuah pertanyaan. Tapi panggilan, seperti juga aku memanggi ibuku dengan sebutan Ama. Untuk itu orang tuaku pernah bercerita, ketika aku kecil dan baru bisa mengucapkan kata-kata papapa atau mamama mereka menjadi cemas kalau aku kelak akan seperti orang lain yang akan memanggil orang tuanya dengna sebutan papa dan mama lalu mereka pun memutuskan agar aku memanggil mereka dengan sebutan Apa dan Ama.

Apaku, sosok seorang laki-laki yang tak berhasil dalam hidupnya. Menikahi seorang janda beranak tujuh dengan pekerjaan yang tak layak, kadang bekerja dan kadang tidak, meski sering tidaknya. Apaku dulunya sempat menjadi pemain band di kampung, aku pernah melihat fotonya waktu sedang main gitar. Sampai sekarangpun kadang-kadang aku masih melihatnya memainkan gitar (pinjaman), menyanyikan lagu-lagu jaman dulu yang tak begitu kukenal. Oh ya, Apaku itu penggemar Beatles, Queen, Bee Gees, Deep Purple dan band-band jaman dulu, terlihat dari koleksi kaset-kasetnya dan semuanya rata-rata beraliran rock yang sampai menjerit-jerit (khas tahun 80an). Tapi uniknya Apa sering sekali mengutuki lagu dangdut setiap kali muncul di TV, tetapi kata Ama waktu muda dulu Apa juga mengiringi orang lain saat bernyanyi dangdut.

Apaku punya pemikiran yang lumayan kebarat-baratan, sering kali aku merasa Apaku ini duplikat Si Nox dalam hal ini. Apaku selalu berfikir kalau yang dari barat itu sudah pasti bagus karena didukung dengan modernitas. Apaku tipe anak kampung yang taunya hanya bersenang-senang, sampai sekarang pun aku tak tau Apaku lulusan SMP atau SMA, karena katanya ijazahnya dibakar, Apa tak pernah jujur dengan hal ini. Kakak-kakakku sering bercerita, ketika muda dulu Apaku sering sekali membuat heboh kampung dengan berkelahi dan bertengkar dengan saudara laki-lakinya sendiri, kejar-kejaran sepanjang kampung sambil mengacung-acungkan parang, membuat stres kedua mbahku. Hari-harinya diisi dengan sesuatu yang menurutku tidak berguna.

Apa adalah seseorang yang sebetulnya pandai berbicara, ia bisa membawa dirinya dalam sebuah pergaulan, dan gampang bergaul, kebalikan dari diriku yang lebih mirip dengan Ama yang tertutup. Tetapi, terkadang Apa tak bisa mengendalikan dirinya dalam berkata-kata. Ada saja kalimat-kalimatnya yang diselipi dengan sesuatu yang tak masuk akal, ya Apaku kadang-kadang suka membual. Mungkin untuk menutupi kelemahannya, atau untuk mengurangi rasa kecewa dalam hatinya.

Yang kutahu, Apaku seorang yang jika ingin mengerjakansesuatu selalu ditunda-tundanya sampai sering sekali membuat Ama menjadi kesal dan memilih mengerjakan semuanya sendiri. Tapi jika Apa sudah mengerjakannya, maka hasil yang diperoleh biasanya lumayan memuaskan. Aku masih ingat ketika aku masih duduk di sekolah dasar, Apa membuatkan hiasan dari triplek berbentuk kuda yang sedang mengangkat kedua kaki depannya. Aku masih ingat sekali, gambarnya digunting dari kalender yang sudah lewat waktunya, dan tripleknya meminta dari tetangga yang kebetulan sedang merenovasi rumahnya. Apa menggergaji triplek tersebut sesuai dengan gambar yang digunting dan membuatkan kaki penahan untuk hiasan dua dimensi tersebut. Dan aku diam ketika pak guru menyindirku terang-terangan kalau hiasan itu pasti buatan bapakku. Aku tak perduli.

Kontras sekali dengan mbahku yang tiap hari selalu ke Masjid dan mengaji sampai malam disana. Apaku bukanlah tipe seorang yang salihah, kendatipun begitu Apaku lumayan hafal beberapa bagian dari isi Al Qur’an dan sering kali membacakan doa selamat dan doa-doa panjang lainnya.

Apaku pernah bercerita kalau dulu ia pernah menganut sejenis ilmu yang berkaitan dengan ular. Ilmu itu diturunkan melalui mimpi oleh kakak atau adik dari mbahku (aku sudah lupa). Dulu Apaku bisa mengobati orang-orang yang digigit ular berbisa, atau mengusir ular yang kebetulan berdiam di rumah atau tempat-tempat yang biasa dilalui orang. Tapi ilmu tak bertahan lama di tubuh Apaku, menurut leluhur yang menurunkan ilmu itu, Apaku tidak kuat menahan ilmu yang terlalu kuat itu, dan akhirnya ilmu itu dicabut kembali. Soal benar atau tidaknya, aku tidak pernah tau.

Sekarang Apaku sudah tua, sejak kutinggalkan rumah lebih delapan tahun yang lalu, ia tak lagi seperti dulu. Wajah hitamnya telah makin keriput, uban dikepalanya pun bertambah, dan bahkan gigi depannya pun telah banyak yang tanggal. Apaku makin terlihat bungkuk, seolah mulai berat menopang tubuhnya yang kurus. Ia terlihat lebih tua dari usianya sendiri. Dulu ia begitu egois dan pongah dengan kata-katanya, tak pernah ingin ia dibantah, tapi sekarang sifatnya itu tak lagi begitu terasa. Ia lebih bisa menerima dari sebelumnya.

Tiap setahun sekali kala lebaran aku pulang, Apaku akan menatapku dengan wajah yang penuh haru dengan mata yang memerah, basah oleh air mata. Dan aku hanya bisa menatapnya kikuk, tak tau harus bersikap bagaimana. Ada sesuatu di relung hatiku yang bergetar tapi tak ingin kuperlihatkan. Ada kepedihan yang menyesak dalam dada, meski kadang kesal datang dan meracuni hati ini bertubi-tubi. Ada secuil kerinduan yang kadang mengoyak nuraniku, tapi kadang kupendam jauh. Aku tak ingin orang lain tau apa yang kurasakan, aku ingin nikmati sendiri kepedihanku.


Diambil dari Buku Kumpulan Puisi dan Lembaran Hidupku, by Lely~Reallyani~
Copyright ©Lely-Reallyani.

No comments:

Post a Comment

hai, hai...kasih komentar dong disini...

Konnichiwa

Yuk, belajar nulis, nulis apa aja yg penting asyik en nyenengin buat dibaca, klo bisa yg informatif juga, nah loh, klo ada tulisan di blog saya ini boleh di copy kok, tapi atas seijin saya yah.....